Di tahun-tahun yang lewat, pernah kupaksa kau membunuhku, dan memintamu untuk menghanyutkan jasadku di batang air. Aku lupa pada sirat wajahmu ketika itu; mataku selalu menoleh ke gunung dan hutan di balik punggungmu, jika kita bicara. Segera saja kutaruh bilah pisau di telapak tanganmu dan kubimbing ke urat leherku yang meregang tenang, dan, pada tikaman pertamamu, aku melihat cinta manusia yang terpelihara.
―Maka, kau menghanyutkan jasadku. Aku berterima kasih padamu. Barangkali inilah waktu terpanjangku menjalang yang akan datang. Namun, alangkah terkejutnya aku saat matahari, saat yang paling sempurna dari segala dusta: kau menjelma kalalaso di belukar dan rimbun dedaun dan membuntuti jasadku ke hilir. Aku tahu itu: kau, sebab angin tak mampu melenyap nafasmu yang kental daun pandan. Dan saat malam, saat yang paling sempurna mengintip segala rahasia, kau menjelma kucing yang bersicepat mengiringi arus dan mengenang lama pada jasadku yang mulai rusak. Aku tahu itu: kau, sebab gelap tak mampu melenyap matamu yang selalu biru tajam.
Dan detak jantungmu! Saat aku mulai paham detak itu, yang begitu jalang menjalang birahiku, aku menyadari bahwa ruhku telah kau peram di detak jantungmu saat jasadku mulai hanyut ketika itu.
Padang, 190212