siapa
sangka hujan mendera lamun. rindu yang bertingkah mericik cemas di
samping suami yang lelap; wajahmu berat. mungkin mau kami
selalu lebat menghujam hutanhutanmu. tapi maafkan aku, hujannya
makin deras. beribu butirannya pecah dalam tubuhku meluruh
reranting mati yang biasa kusimpan di rahimku dan pada rambutku
yang basah menjalur sungai mengaliri debu ke hilir kaki. hujan
menghanyutkannya ke selokanselokan.
pembicaraan
ini belum bisa kuputus. udara memagutku begitu nyaman dan
bersetia menjagaku dari pancaroba yang nyeri. Tapi adakah kau
serupa aku dalam dusta? sebab hujan juga mengguyur perempuan
di jalan yang biasa kau lalui. tidakkah hendak menjeratmu dan
memilih dusta saat itu? kurasa tidak. sebab kau terlalu bodoh untuk itu.
kau terlalu mematri aku di denyutmu. dan aku tak perlu memilih
sebentuk kepercayaan yang rumit. aku bebaskan kau ke mana pun.
pulang kau padaku jua, suamiku.
siapa
sangka hujan mengecupku malam ini yang datang dari gelap langit
dan melintasi kaldera yang kubentuk dari
semangatku. Begitu lama
kutunggu bibir hujan di bibir risauku. bangku yang asing kami nikmati
dalam gigil.
mari
menari, bisik hujan. telingaku menghangat dan aku menari sebisanya
mengikuti detak hujan di kakikakiku. tik tik
tik…. Lembut menjadi gaib melepas cemas. tik tik tik…. Pukau melorong lentur
di tingkah gamang. sehelai
kelopakku luruh. tiktiktiktiktiktiktik….
hujan mendera merah bibirku menyusup sampai ke jantung
menyirami biji rindu yang telah pecah sebab detak bukan kuasaku
lagi. sehelai kelopakku luruh. tiktiktiktiktiktiktik….
lenggokku mengimbangi lenggok hujan memanasi udara yang
hinggap di setiap lekuk tubuh lantas meniupniup pengetahuan yang lama tertimbun. sehelai
kelopakku luruh. tiktiktiktiktiktiktik….
oh, desahku mengalir cepat di selasela gigi menjadi
kabut putih di udara. aku melayang bersama hujan. Ricik purba
menguyurguyur rindu. serupa kupukupu kakikaki kami hinggap di
pucukpucuk bunga kertas yang masih setia pada tangkai. tiktiktiktiktiktiktik….
hujan menyusupiku ke rimbun bonsai yang rumit. sekecup
lembut menyingkap kelapangan tubuh membenturbentur ringan di
batangbatang. tiktiktiktiktiktiktik….
hujan merendah ke rumput basah dan kami berputarputar
dalam lingkar kaldera sampai ke pagar batas kemengertianku.
helaihelai kelopakku luruh.
oh, inilah
angin. kau mengenalkanku akan angin. sstt…, hujan mendiamkanku
lantas mengecupkan hurufhuruf yang hilang dari katakataku
ke bibir yang semakin gersang. gairahku menarik hujan semakin
rapat. detak pecah di kakiku membuncah.
kutelusuri
jejak tarian kami tadi.
siapa
sangka inang bersemayam dalam tubuhku dan hujan mengiringi setiap
gerak. putaranku makin cepat ke puncak lantas pelan di lentik jemari
lantas diam lantas meloncat ke bunga kertas lantas menusup ke rimbun
bonsai yang rumit lantas berembus merendah ke rumput basah
lantas berputar lebih cepat sampai ke pagar batas kemengertianku
lantas hujan mengguyur buas tak ada ciuman putaranku
makin cepat membuncah gairah kupeluk hujan aku dalam hujan di
manamana tak mampu terjepit di selangkangku putar makin kencang
makin buas oh suamiku bangunlah dan bunuhlah hujanku putaranku
makin cepat ke pucukpucuk bunga kertas merendah ke rumput
basah membentur pagar bonsai yang rumit
batas kemengertianku
membentur bunga kertas merontok daun jatuh ke rumput
basah oh suamiku bangunlah dan bunuh hujanku!
bangunlah,
suamiku! bunuhlah hujan untukku! aku ingin berhenti dari percakapan
ini karena tamanku telah porakporanda….
Padang 06
2011