Kalau terlalu sulit untuk mengerti Alkitab, berbuatlah dengan bahasa manusia; lapar kalau tak makan. Sakit jika ditikam. Menderita jika dijajah. Dicintai jika mencintai. Disenangi jika menyenangi. Allah pun hanya menerima manusia-manusia yang telah selesai urusannya dengan manusia.
Telah berapa banyak kita melihat ke-tidak-ter- aturan! Mungkin terlalu sering. Karena kita telah jauh dari akar tunggang. Tapi begitulah hukum alam raya ini. Hukum dualitas sangat berlaku di sini; baik-buruk, benar-salah, atas-bawah, depan-belakang, benar-salah, hidup-mati. Begitulah hukumnya. Kalau mau melihat sesuatu yang benar-benar teratur, tempatnya bukan di sini. Tapi di surga! Itu kata kitab; orang yang dicintai akan hidup dalam kesenangan yang teratur dan orang yang dilaknati akan hidup juga dalam penderitaan yang teratur.
Lantas apa yang harus kita perbuat dengan keadaan yang tidak teratur ini, Sanak? Apa kita harus turun ke jalan sambil mengacungkan panji-panji protes? Atau mencari kawan bicara dan melampiaskan semua kekecewaan yang dipendam? Atau mengutuk dalam kamar dan mengunci semua pintu dan jendela? Untuk melampiaskan kekecewaan ternyata punya aturan juga (apalagi di negara berlandaskan hukum. Dan norma-norma)…. Atau cuek bebek saja! Mau menyimpang, mau melanggar, mau maling, terserah. Yang penting privasi kita tak terganggu.
Tapi tidak se–simple ini ternyata. Sebab manusia: mahlup pengiklan (secara langsung atau tak langsung) dan sifatnya: terpengaruh ( ia meyakini dan membenarkan). Parahnya: individunya tenggelam dalam laut panatik. Salah-benar, masa bodoh. Karena itulah kebenaran yang kuterima dengan bodoh. Parah! Parah, kawan! Parah kalau lingkungan terpengaruh iklan yang bodoh. Parahnya: hanya kita sendiri yang tidak terpengaruh. Itu yang paling parah kawan…. Mau dibawa kemana badan diri ini lagi?
bagaimana berkata jujur
sedang lingkungan lebih suka pada dusta
bahkan
sampai percaya
bagaimana takkan tertawa
sedang diri telah dibuka sampai telanjang
malah itu pikiran
masih tak percaya
mawar masih naungan duri
bangkitkan gairah menumbuh cinta
manusia sempurna dalam kata
bangkitkan konspirasi dan dialog waspada
malang, sanak!
dulu nafsu dari wahyu
parah, awak!
dulu syahwat dari ayat
Sepanjang akal yang ada, sebeberapa ilmu yang tersimpan – grafitasi ini harus diatur lagi. Agar semuanya berjalan sebagaimana mestinya.
Saya punya diri yang lain. Dan sanak juga punya diri yang lain juga. Mungkin yang tampil sekarang adalah diri yang pengecut. Karena pikiran kita terlalu memilah-milih untung dan ruginya. Kalau untung – terus disambung. Kalau rugi – cukup sampai disini. Itu konsekwensinya. Karena kepengecutan kita tak mampu juga memilih salah satu di antaranya. Ooii… malang! Rasa terlalu mendramatisirkan keadaan. Apa yang mesti kita perbuat! Tak ada. Hanya menggantung sebuah keputusan. Menyia-nyiakan hari. Membuang-buang waktu. Jiwa-jiwa kita terlalu pengecut untuk jujur. Dan mari nikmati saja keadaan ini sambil bersembunyi di sunyi dengan sedikit kata kutukan untuk diri sendiri dan ligkungan.
Tapi bagaimana kalau kita tampil dengan diri yang lain, Sanak. Jiwa pemberontak! Karena mau jujur. Sanak punya rasa. Sanak yang lain punya rasa. Dan saya juga punya rasa. Dan ada berapa banyak manusia yang punya rasa yang selalu mengekspos kejujurannya. Lantas apa yang terjadi? Sebuah iklan besar tentang kejujuran, Sanak!. Semakin besar dan semakin banyak jam tayanganya, semakin besar pengaruhnya, Sanak. Dan pada akhirnya apel Albert Einten jatuhnya akan ke bawah.
Pekanbaru, 2008