Rabu, 18 September 2013

NYAI

A, terimakasih, Nyai. Terimakasih Nyai telah sudi membukakan pintu buat saya. saya jatuh cinta lagi pada Nyai yang seorang ini. Sama seperti sembilan tahun lalu, Nyai masih menghembusi bulu kejantanan saya. Sepagi ini, tak ada kesenangan saya selain dari keras hati Nyai itu. Dan saya tiada malu bergadang hati di hadapan Nyai; Bermegah-megah dengan kata.

O, terimakasih, Nyai. Saya tidakkan lama. Hari ini juga saya akan berlayar lagi. Itu! Coba Nyai dengar! Itu, peluit kapal saya—di pelabuhan sana. Ah, tentu Nyai tak dengar. Nyai terlalu lama di perkebunan ini. Tapi tak mengapa. Saya akan mengabarkannya buat Nyai tentang pelayaran saya. Saya harap Nyai sudi mendengarkannya barang semenit. Sebab dari merekalah saya lahir.

Apa, Nyai? Oh, ya—mereka itu, ya? Mereka itu adalah keturunan kolonial, keturunan modern, keturunan liberal, keturunan demokrasi, keturunan agama. Tentunya Nyai tahu sebahagian dari mereka. Bukankah keras hati Nyai itu disebabkan mereka juga, bukan? Dan ternyata! Ternyata wajah mereka itu sama belaka. Wajah modal, Nyai. Ah, tentunya nyai tidak lupa: setiap orang diperintah oleh modal itu. Semua diatur oleh dia, juga kesusilaan, juga hukum, juga kebenaran dan pengetahuan. Bukankah kata-kata ini dari Nyai belaka?

Apa, Nyai? Oh, maaf, saya lupa. Maafkah saya Nyai. Nama saya kemanusiaan.

Haha—tidak, Nyai. Tidak. Saya tidak melihat mereka hanya dari atas kapal belaka. Saya tidak bakal lahir karena itu. Setiap orang waras, jika kemanusiaannya terganggu, ia bakal perasa dan marah, Nyai, tak peduli suku dan bangsa. Setiap orang beragama, jika keyakinannya terganggu, ia bakal berkelahi dan membunuh, Nyai, tak peduli sahabat dan tetangga. Nyai mengetahui juga akan hal ini.

Haha—saya membenarkan ucapan Nyai itu. Kemanusiaan tanpa pengetahuan tentang duduk soal kehidupan, bisa tersasar. Oh, ya, di mana sahabat dan menantu Nyai itu? Saya rindu mereka di kehidupan saya.

Tidak, Nyai. Tidak. Saya sedang tidak membela diri. Bagaimana kemanusiaan itu dibela? Kemanusiaan itu bukanlah kepentingan. Jika pun ada yang membela, barangkali itu milik kepentingan. Ah, maafkan darah muda saya, Nyai. Darah yang teramat mudah menegakkan batang kejantanan saya ini.

Tidak, Nyai. Tidak. Jangan tuduh saya dengan kata itu. Saya rasa: Nyai tidak tahu komunis. Saya rasa: ia disembunyikan dari sejarah kehidupan Nyai. Barangkali disengaja. Tapi tak tahulah saya—dan saya bukan komunis. Saya kemanusiaan. Apa Nyai lupa?

Tapi, jika ia masih hidup di sini, seperti apa pula wajahnya sekarang? Bukankah orang Pandan Gadang—orang Suliki itu—juga bikin model komunis yang menyesuaikan dengan sosial masyarakat di sini? Tapi tak tahulah saya. Barangkali tak pernah terlaksana. Seperti apa pula wajahnya kira-kira, Nyai?

Oh, terimakasih, Nyai, terimakasih. Saya sudah minum di pelabuhan tadi. Namum, meskipun rindu saya pada Nyai belum terobati benar, saya musti minta diri juga. Saya tidak bisa berlama-lama di sini. Kehidupan saya sama gawatnya dengan kehidupan Nyai. Sekali lagi terimakasih karena Nyai telah sudi menerima saya sepagi ini. Hormat saya pada orang yang telah melahirkan Nyai—