Jumat, 29 November 2013

SAUDARA?


Mak, kenapa rombongan itu teriak-teriak?

Katanya: Saudara mereka di Palestina kalah perang.

Kenapa mereka berperang, Mak?

Mak tidak tahu.

Mereka tahu, Mak?

Mak tidak tahu.



Mak, kenapa rombongan itu marah-marah?

Katanya: hiburan mereka dimaling Malaysia.

Kenapa dimaling, Mak?

Mak tidak tahu.

Mereka tahu, Mak?

Mak tidak tahu.



Mak, kenapa orang-orang melempari gedung itu?

Katanya: presiden mereka disadap Australia.

Kenapa disadap, Mak?

Mak tidak tahu.

Mereka tahu, Mak?

Mak tidak tahu.



Mak, kita bukan saudaranya, ya, Mak?

Kenapa begitu?

Kita tidak berperang, tidak dimaling, tidak disadap. Mereka

tidak pernah berteriak dan marah buat kita.

Hus, kita sudah dikasih jembatan buat tidur dan sungai buat mandi.

Tapi aku lapar, Mak.



Sebentar lagi Tuhan kasih kita makan.

Tuhan itu saudara kita, ya, Mak?



Payakumbuh

Senin, 25 November 2013

BERARSITEKTUR

Sebermula adalah percakapan, lalu menampi imajinasi.
Lalu sketsa, minta dikawini di bawah cahaya.

Saya tahu itu mediterania! Lantas saya bertanya, kenapa anda tahu itu mediterania? Ya, mediterania seperti itu, jawabnya. Dan itu, renaisan. Saya bertanya lagi, kenapa anda menyebut itu reneisan? Karena pilar-pilarnya, jawabnya lagi. Dan itu, arsitektur yang salah! Kenapa? Jawabnya, gedung itu tidak mencerminkan lingkungan masyarakatnya serta menggunakan gonjong pada tempat dan bentuk yang salah.

Apakah ketika sebuah bangunan disematkan order, capital chorinthian, ia boleh disebut arsitektur klasik, atau gonjong ditempatkan pada fungsi tertentu dikatakan salah, tanpa mau atau mampu membaca apa yang dikomunikasikan oleh keseluruhan bangunan itu? Barang jadi bangunan itu adalah wujud eklektikis akibat kejenuhan. Atau hanya sebuah sarang saja, sebagai ketidakmampuan arsitek berarsitektur.

"Dan tahukah, Kalian, di dunia ini ada produk arsitektur yang hanya mengenal 'Konstektual' saja selama hidupnya."

Arsitektur Prasmanan

“Pada puting payudara almamater, secercap arus Humanisme Yunani menghanyut buncah di kepala-kepala calon sarjana. Di ujung lidah yang basah ada gereja besar di atas kuburan para Rosul Petrus yang meretas keistimewaan PHI anak Fibonacci itu. Dan aku menelan alir liur sebagai manusia yang istimewa,” kata orang pertama.

“Asi itu serupa mutiara yang mempengaruhi pertumbuhan imajinasi. Keragaman cangkangnya adalah kekayaan bentuk yang sangat kontradiktif dalam semangat “carpe diem” (rebut hari ini); kutemukan kesadaran bahwa sebuah tengkorak musti disisip sebagai cangkang keseimbangan,” sela orang ke dua.

Setelah periode-periode itu ditulis¹ diripun memposisi. Kenangan silam segala tingkah dan angan pun dijemput. Dan apalagi jika bukan ‘kecewa’: ingatan wajah pertama masa menyapih itu; setelah kata ‘GAP’ muncul pada BENCI TAPI RINDU².( tidak dibaca dari sudut pandang gap yang memposisi pada alumni senior dan yunior dan saling berbagi ‘cimeeh’). Boleh dibilang 'aku' produk Prasmanan. Saketek konsep, alakadar gambar, rupa ragam teori tak bergaram disalin dan telan bersama vodka. Walaupun tak ada sendawa – selenting cimeng pun dihisap tanda usai bersantap.

Kamis, 07 November 2013

NUH—NUR

Air naik, membangkai ke tampuk hujan, langit mendekat, bulan melambat,
pahala dan dosa berpindah hanyut.

Wahai, Raja!

Khilaf sabak menyedai perangai, luruh limbur mengaram sajadah,
malam berkalam melayarkan madah.

Payakumbuh—2013

GADIS BUNGUS

Aku semisal kapal di tengah teluk yang diombang-ambing lengang panjang saat saluang mendengung-dengung playaran. Lalu gaung panjang mercu rindu, sengau ke arah Bungus saat nafas gagal meminang lubang talang.

Payakumbuh, 220513

MAYAT

Harusnya kutanam batu lempeng ini di tepi kali agar semuannya selesai. Jika tidak lelumut yang datang dari tali air, tentu arus tinggi yang menghajarnya. Sebelum hari itu tiba, tentu kuterima juga ia yang menuntun para petualang untuk mengalungkan tali sampannya di situ. Ketahuilah! Aku takkan memilih bakal calon. Sebab mereka dan, juga kau, hanyalah orang pelarian yang bakal hilang di padang dan bakal hanyut ke hilir. Dan aku takkan membunga ingatan dari setiap kunjungan. Jangan namai aku keterasingan, sebab mulutku tak kelu menjawab sekedar sapa, atau, sekedar menemani leha mereka sambil memancing, aku masih bersedia.

Ah, tidak. Aku tetap menamaimu sesuai pemberian ayah-ibumu. Dan aku kemari hanya mengajak. Aku tak datang bersama ia yang mungkin rumit untuk kau cerna. Atau lalu-lalang petualang yang, ah, biarkan saja mereka dan kau boleh menyebutku mereka, ya, mereka. Ketahuilah! Setelah kematianku, kehidupan tak turut surut. Ia semakin hidup di tangan-tangan yang mamayatkan kekalahan. Dan betapa kehidupan lengah dari yang memuda-muda ratap. Dan kini lihatlah di atas pandamku! Buah peluh tumbuh. Tumbuh beranak dari derap laku yang dipanggang surya berkali-kali setelah pengap dan cemburu membosani lahatku.

Ha, begitulah kehidupan. Jika bukan doa yang renta, tentu nasehat yang kanak yang digiringnya mengunjungi kematian. Bagaimana aku membongkar nisanku agar pintu kubur mengembang menyambutmu, jika ia tak peduli pada lebaran dari doa dan laku nasehat yang kaugiring itu. Jadi biarkan saja aku tertanan di pinggir kali.

Sebutkan padaku: bagaimana cara membangunkan mayat. Dengarkan: aku mencintai mayat-mayat. Dan ketahuilah: aku pernah memayat dari kehidupan, sebab tak sepaham dengan ia yang tak kunjung mengharirayakan lakuku. Akhirnya, memilih tengkar dengan ia dan kehidupan dengan cara yang kuanggap paling menyakiti.

Diamlah! Kata-katamu terlalu hafal bagiku.
Pasti! Karena kujemput dari telinga kanak-kanakmu.
Diamlah! Biarkan aku tertanam di pinggir kali.
Karena aku mencintai mayat, maka berlakulah selayak kata-kata hari ini.

Selamat tinggal.


Padang, 250313

Rabu, 18 September 2013

NYAI

A, terimakasih, Nyai. Terimakasih Nyai telah sudi membukakan pintu buat saya. saya jatuh cinta lagi pada Nyai yang seorang ini. Sama seperti sembilan tahun lalu, Nyai masih menghembusi bulu kejantanan saya. Sepagi ini, tak ada kesenangan saya selain dari keras hati Nyai itu. Dan saya tiada malu bergadang hati di hadapan Nyai; Bermegah-megah dengan kata.

O, terimakasih, Nyai. Saya tidakkan lama. Hari ini juga saya akan berlayar lagi. Itu! Coba Nyai dengar! Itu, peluit kapal saya—di pelabuhan sana. Ah, tentu Nyai tak dengar. Nyai terlalu lama di perkebunan ini. Tapi tak mengapa. Saya akan mengabarkannya buat Nyai tentang pelayaran saya. Saya harap Nyai sudi mendengarkannya barang semenit. Sebab dari merekalah saya lahir.

Apa, Nyai? Oh, ya—mereka itu, ya? Mereka itu adalah keturunan kolonial, keturunan modern, keturunan liberal, keturunan demokrasi, keturunan agama. Tentunya Nyai tahu sebahagian dari mereka. Bukankah keras hati Nyai itu disebabkan mereka juga, bukan? Dan ternyata! Ternyata wajah mereka itu sama belaka. Wajah modal, Nyai. Ah, tentunya nyai tidak lupa: setiap orang diperintah oleh modal itu. Semua diatur oleh dia, juga kesusilaan, juga hukum, juga kebenaran dan pengetahuan. Bukankah kata-kata ini dari Nyai belaka?

Apa, Nyai? Oh, maaf, saya lupa. Maafkah saya Nyai. Nama saya kemanusiaan.

Haha—tidak, Nyai. Tidak. Saya tidak melihat mereka hanya dari atas kapal belaka. Saya tidak bakal lahir karena itu. Setiap orang waras, jika kemanusiaannya terganggu, ia bakal perasa dan marah, Nyai, tak peduli suku dan bangsa. Setiap orang beragama, jika keyakinannya terganggu, ia bakal berkelahi dan membunuh, Nyai, tak peduli sahabat dan tetangga. Nyai mengetahui juga akan hal ini.

Haha—saya membenarkan ucapan Nyai itu. Kemanusiaan tanpa pengetahuan tentang duduk soal kehidupan, bisa tersasar. Oh, ya, di mana sahabat dan menantu Nyai itu? Saya rindu mereka di kehidupan saya.

Tidak, Nyai. Tidak. Saya sedang tidak membela diri. Bagaimana kemanusiaan itu dibela? Kemanusiaan itu bukanlah kepentingan. Jika pun ada yang membela, barangkali itu milik kepentingan. Ah, maafkan darah muda saya, Nyai. Darah yang teramat mudah menegakkan batang kejantanan saya ini.

Tidak, Nyai. Tidak. Jangan tuduh saya dengan kata itu. Saya rasa: Nyai tidak tahu komunis. Saya rasa: ia disembunyikan dari sejarah kehidupan Nyai. Barangkali disengaja. Tapi tak tahulah saya—dan saya bukan komunis. Saya kemanusiaan. Apa Nyai lupa?

Tapi, jika ia masih hidup di sini, seperti apa pula wajahnya sekarang? Bukankah orang Pandan Gadang—orang Suliki itu—juga bikin model komunis yang menyesuaikan dengan sosial masyarakat di sini? Tapi tak tahulah saya. Barangkali tak pernah terlaksana. Seperti apa pula wajahnya kira-kira, Nyai?

Oh, terimakasih, Nyai, terimakasih. Saya sudah minum di pelabuhan tadi. Namum, meskipun rindu saya pada Nyai belum terobati benar, saya musti minta diri juga. Saya tidak bisa berlama-lama di sini. Kehidupan saya sama gawatnya dengan kehidupan Nyai. Sekali lagi terimakasih karena Nyai telah sudi menerima saya sepagi ini. Hormat saya pada orang yang telah melahirkan Nyai—