“Pada puting payudara almamater, secercap arus Humanisme Yunani menghanyut buncah di kepala-kepala calon sarjana. Di ujung lidah yang basah ada gereja besar di atas kuburan para Rosul Petrus yang meretas keistimewaan PHI anak Fibonacci itu. Dan aku menelan alir liur sebagai manusia yang istimewa,” kata orang pertama.
“Asi itu serupa mutiara yang mempengaruhi pertumbuhan imajinasi. Keragaman cangkangnya adalah kekayaan bentuk yang sangat kontradiktif dalam semangat “carpe diem” (rebut hari ini); kutemukan kesadaran bahwa sebuah tengkorak musti disisip sebagai cangkang keseimbangan,” sela orang ke dua.
Setelah periode-periode itu ditulis¹ diripun memposisi. Kenangan silam segala tingkah dan angan pun dijemput. Dan apalagi jika bukan ‘kecewa’: ingatan wajah pertama masa menyapih itu; setelah kata ‘GAP’ muncul pada BENCI TAPI RINDU².( tidak dibaca dari sudut pandang gap yang memposisi pada alumni senior dan yunior dan saling berbagi ‘cimeeh’). Boleh dibilang 'aku' produk Prasmanan. Saketek konsep, alakadar gambar, rupa ragam teori tak bergaram disalin dan telan bersama vodka. Walaupun tak ada sendawa – selenting cimeng pun dihisap tanda usai bersantap.
Adalah suatu angan akan adanya ‘GAP’ di lingkungan kampus (tempat menyapih). Suatu kelompok-kelompok mahasiswa dalam aliran yang berbeda-beda, secara arsitektural membentuk pandangan dalam diskusi-diskusi. Kemegahan atau kelemahan karya arsitektur setiap masa selalu diperbincangkan di taman-taman, di koridor-koridor, di ruang studio, atau di sudut-sudut kosong. Dari Parthenon tempat Sang Perawan yang berstruktur marmer yang sangat besar tanpa satu garis lurus pun, yang memberikan ilusi optis, yang dibangun di kota di atas bukit Acropolis, sampai ceria tralala ala dekonstrutifnya Anak Nongkrong MTV yang mengejek formalitas dan tetekbengek pakem. Ada gap dengan semangat Renaisans mengusung Proporsi Angung dalam setiap karya tugasnya. Ada suara modernis yang besikukuh: manusia adalah heliosentris dari setiap materi yang ada. Dan pabrikasi pun meleak dalam kesamaan ukuran dan bentuk untuk direkatkan pada karya yang terformat. Hay! Hay! Bukan tidak mungkin ini melahirkan perang yang indah. Perang yang indah! Perang dalam bentuk selebaran-selebaran dinding, perang di lesehan-lesehan, perang karya; sebagai bentuk kekayaan intelektual bersama. Dan pada akhirnya melahirkan identitas yang dapat dibaca secara konsep maupun produk dari sebuah almamater. Angan-angan seperti itulah yang pernah terbesit di masa lalu yang tak mewujud sampai alumni disematkan pada dada identitas.
Lantas siapa yang membangun itu semua. Siapa motifator yang memasyarakatkan kebiasaan itu. Atau… dokrinitas diperlukan untuk mewujudkan suasana seperti itu? Atau mahasiwa tidak diciptakan untuk itu? Terlalu naif jika dijawab: “Allahualam”. Sebab masa kampus adalah masa pencerahan bagi pilihan (baca jurusan) yang dicita-citakan. Teori-teori masa silam dan kekinian menjelma ayat-ayat ilmiah sebagai pedoman penciptaan. Pemujaan pada kecerdasan pikiran adalah kegemaran yang populer yang melahirkan individual yang unik. Semuanya diuji dan diperbandingkan. Di sinilah periode pencerahan. Renaisans kekinian, yang akan mengantarkan pada posisi spesialis dalam dunia kerja. Atau… idealnya tidak seperti ini? Allahualam… maklum PRODUK PRASMANAN.
Dan pada akhirnya, tali toga pun berpindah. Sambil menyandang identitas alumni baru, periode Barok pun dimasuki. Rupa-rupa kesing terkini pun menjadi kegemaran. Jangan tanya makna atau filosofi, sebab ini dendang rabab ‘Rancak di Labuah’. Dengan nada saketek-saketek, sebuah karya pun disulap sesuai pesanan (wani piro persen). Sementara suara Ahmad Albar dari speaker menyelip lantang bernyanyi “Dunia ini panggung sandiwara….”
Maka perbaharuilah Wajah-wajah. Palsukan dalam beragam bentuk sebagai bentuk pertahanan atau serangan dalam persaingan yang tak sehat. Sebab inilah wajah barok yang kau masuki, Alumni Baru! Banyak sudut dan celah dengan banyak hiasan di sini. Dan angan nan saketek itu, siapa bisa!
- Dalam sejarah perkembangan jurusan Arsitektur Bung Hatta, Eko Alvares Z membagi 4 periode.
- Arsitektur Bung Hatta: Dari Tukang Tuo Sampai Arsitek Bangku Kuliah. Catatan Perjalanan Jurusan Arsitektur Universitas Bung Hatta, Eko Alvares Z.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar