Senin, 25 November 2013

BERARSITEKTUR

Sebermula adalah percakapan, lalu menampi imajinasi.
Lalu sketsa, minta dikawini di bawah cahaya.

Saya tahu itu mediterania! Lantas saya bertanya, kenapa anda tahu itu mediterania? Ya, mediterania seperti itu, jawabnya. Dan itu, renaisan. Saya bertanya lagi, kenapa anda menyebut itu reneisan? Karena pilar-pilarnya, jawabnya lagi. Dan itu, arsitektur yang salah! Kenapa? Jawabnya, gedung itu tidak mencerminkan lingkungan masyarakatnya serta menggunakan gonjong pada tempat dan bentuk yang salah.

Apakah ketika sebuah bangunan disematkan order, capital chorinthian, ia boleh disebut arsitektur klasik, atau gonjong ditempatkan pada fungsi tertentu dikatakan salah, tanpa mau atau mampu membaca apa yang dikomunikasikan oleh keseluruhan bangunan itu? Barang jadi bangunan itu adalah wujud eklektikis akibat kejenuhan. Atau hanya sebuah sarang saja, sebagai ketidakmampuan arsitek berarsitektur.

"Dan tahukah, Kalian, di dunia ini ada produk arsitektur yang hanya mengenal 'Konstektual' saja selama hidupnya."

Terlepas dari apa jawabannya: apakah bangunan itu sebuah arsitektur dimana seni dan fungsi sebagai pembentuk fisik dan ruang, dimana aspek ritma, geometri, keseimbangan, simenti betul-betul ada sebagai pembentuk tipografi estetika, dan ukuran, dimensi sebagai pembentuk proporsi — sebagai teori dasar? Atau apakah sejarah dan teori benar-benar bisa berbicara ketika kritik dihadapkan pada sebuah bangunan? Bukankah arsitektur itu bernama ketika ia bisa memenuhi dirinya dengan sejarah (budaya), teori, dan kritik? Atau bukan? Apa saja, atas nama fisik dan ruang yang bisa ditempati bisa dikatakan arsitektur? Atau sesuatu yang punya atap, dinding, dan pondasi adalah arsitektur?

seluruh isi tulisan ini barangkali hanyalah pertanyaan-pertanyaan yang, bisa saja surut kepada yang lebih awal — permulaan. Tapi, bicara Arsitektur sama saja dengan pembicaraan transaksi ketika owner mendatangi anda; arsitektur tak lebih dari sekedar produk dagang, atau jalan mulus political. Atau tak sama? Ketika idealisme mengartikan arsitektur sebagai seni fungsil. Tapi tetap, saya menulis atau membicarakannya sebagai seni fungsi untuk memperkecil luasnya pembicaraan dan pertanyaan-pertanyaan.

Atau, pembicaraan dan pertanyaan yang bermunculan tak perlu ditanggapi, meskipun pertanyaan itu muncul dari nurani yang sehat. Atau sebagai arsitek bersertifikat; profesional, madya, atau mitra, tak perlu lagi membicarakan hal-hal dari aspek-aspek sederhana pembentuk arsitektur. Boleh dibilang: diabaikan saja, seperti mengabaikan nasib arsitek yang harus mengekor kehendak yang bukan arsitek (yang penting masih diajak dan dijanjikan untuk ikut dalam jemaah pemakan APBD dan APBN). Sampai-sampai orientasi dari sebuah perkembangan arsitektur lokal, tempat ia berpraktek, hidup dan menyusun kebudayaan, harus diabaikan.

"Utopia' hanya hidup dalam idealisme yang tidur sepanjang siang, bukankah begitu, Bung?"

Tetap saja: apatisme lebih mendomisi ketimbang perubahan. Mengabaikan seorang kawan yang gila yang berkata, "Bagaimana arsitektur lokal akan berlayar ke lautan karya, jika dalam setiap dayung kehidupannya tak ada kritikus sebagai kawan seperjalanan. Dan bagaimana pula bisa bernama arsitektur, jika ruh seni tak pernah singgah dalam batang tubuh sang pencipta."

"Adalah lebih baik demam gigil membunuh anda ketimbang menjelaskan konsep-konsep kepada orang bebal."

Sebagai tulisan yang tak runut atau sistimatik dari gendre apapun, karena ia ditulis secepat kilat yang sama halnya dengan sebuah disain cepat siap — tanpa menyelipkan teori-teori yang berlaku yang, boleh dibilang tulisan ini adalah status terbaru dari kaum lebay, dimana ia terus menambahkan kelebayannya dengan: Tuhan adalah arsitek sejati. Arsitek adalah tuhan-tuhan yang bersaing (cin{t}a).

Tidak ada komentar :

Posting Komentar