Rabu, 11 April 2012

PERSIMPANGAN


Sedang cewang—
cewang menawar kenang segala pengalaman,
menyebab gamang segala tuju.
Sedang gabak—
gabak memawar kelahiran di hulu waktu,
memeram ruyung dalam jantung.


Kita yang tercegat di simpang itu,
melorong sangsimu bercermin ke bilah pisau.
Kau melengkung ke pinggir mata,
aku melaju ke runcing tikam.
Dan degarlah maut yang perayu,
mengarah tingkah ke segala tamat.


Padang, 0212

Kembali ke Rumah

―Jika begini jadinya, aku memilih mengangkang selangkang dan menikmati sebilah pisau yang akan membelah tubuhku menjadi seberapa yang diinginkannya. Di balik pintu itu, wajah tingkah tak jua berubah yang kurasa itu iming Agamemnon untukku; seorang pahlawan dan altar tumbal. Angin dan kemenangan.

Oh mulut-mulut mungilku, bening terbata mengeja ayat-ayat. Maafkan aku yang abai di geliat hari kalian?

―Tapi tenanglah, ibu akan bertempurung dan meramu rempah di lidah kalian biar jadi nyiru tak disalak anjing hau’ab  setelah menjauh tekong. Dan ibu akan bertutur ular yang sangat rupawan di balik pintu itu yang suaranya membulan penuh dayu surga; selalu singgah di laju tuju, menyebabkan kita lebih menyenangi kesalahan yang biasa dari pada sebentuk keberanian yang kecil.

Kemarilah tubuh-tubuh mungilku, mari, menggantunglah di kerumit batang tubuhku. Dari aroma mulut kalian ibu ingin bermain hujan lagi.

KAU DIKENAL SEBAGAI NAMA


Mereka tahu kau sebagai namamu; di suatu ketika, udara yang hidup telah mengalamatkanmu pada kertas-kertas kerja mereka dan mengkelaminkanmu menurut suku, menurut mata mereka yang menjadikan semua itu benar.

Namun, padaku, saat percakapan-percakapan kita tentang cahaya, kau selalu saja direnggut lengang yang menjadikanmu seekor kupu-kupu bertelinga lancip panjang, yang bergegas menarik kesadaranku ke rimbunan dedaun yang kau akui sebagai rumahmu. Di sana kau ceritakan tentang kesetiaan - yang jika aku bersedia - maka sebuah kapal besar terbuat dari awan akan mengantar kita kenegerimu, dimana warna-warni adalah lengkung pelangi sebagai peneduh setubuh kita.

Hujan Malam Ini


siapa sangka hujan mendera lamun. rindu yang bertingkah mericik cemas di samping suami yang lelap; wajahmu berat. mungkin mau kami selalu lebat menghujam hutanhutanmu. tapi maafkan aku, hujannya makin deras. beribu butirannya pecah dalam tubuhku meluruh reranting mati yang biasa kusimpan di rahimku dan pada rambutku yang basah menjalur sungai mengaliri debu ke hilir kaki. hujan menghanyutkannya ke selokanselokan.

pembicaraan ini belum bisa kuputus. udara memagutku begitu nyaman dan bersetia menjagaku dari pancaroba yang nyeri. Tapi adakah kau serupa aku dalam dusta? sebab hujan juga mengguyur perempuan di jalan yang biasa kau lalui. tidakkah hendak menjeratmu dan memilih dusta saat itu? kurasa tidak. sebab kau terlalu bodoh untuk itu. kau terlalu mematri aku di denyutmu. dan aku tak perlu memilih sebentuk kepercayaan yang rumit. aku bebaskan kau ke mana pun. pulang kau padaku jua, suamiku.

siapa sangka hujan mengecupku malam ini yang datang dari gelap langit dan melintasi kaldera yang kubentuk dari semangatku. Begitu lama kutunggu bibir hujan di bibir risauku. bangku yang asing kami nikmati dalam gigil.

mari menari, bisik hujan. telingaku menghangat dan aku menari sebisanya mengikuti detak hujan di kakikakiku. tik tik tik…. Lembut menjadi gaib melepas cemas. tik tik tik…. Pukau melorong lentur di tingkah gamang. sehelai kelopakku luruh. tiktiktiktiktiktiktik…. hujan mendera merah bibirku menyusup sampai ke jantung menyirami biji rindu yang telah pecah sebab detak bukan kuasaku lagi. sehelai kelopakku luruh. tiktiktiktiktiktiktik…. lenggokku mengimbangi lenggok hujan memanasi udara yang hinggap di setiap lekuk tubuh lantas meniupniup pengetahuan yang lama tertimbun. sehelai kelopakku luruh. tiktiktiktiktiktiktik…. oh, desahku mengalir cepat di selasela gigi menjadi kabut putih di udara. aku melayang bersama hujan. Ricik purba menguyurguyur rindu. serupa kupukupu kakikaki kami hinggap di pucukpucuk bunga kertas yang masih setia pada tangkai. tiktiktiktiktiktiktik…. hujan menyusupiku ke rimbun bonsai yang rumit. sekecup lembut menyingkap kelapangan tubuh membenturbentur ringan di batangbatang. tiktiktiktiktiktiktik…. hujan merendah ke rumput basah dan kami berputarputar dalam lingkar kaldera sampai ke pagar batas kemengertianku. helaihelai kelopakku luruh.

oh, inilah angin. kau mengenalkanku akan angin. sstt…, hujan mendiamkanku lantas mengecupkan hurufhuruf yang hilang dari katakataku ke bibir yang semakin gersang. gairahku menarik hujan semakin rapat. detak pecah di kakiku membuncah.

kutelusuri jejak tarian kami tadi.

siapa sangka inang bersemayam dalam tubuhku dan hujan mengiringi setiap gerak. putaranku makin cepat ke puncak lantas pelan di lentik jemari lantas diam lantas meloncat ke bunga kertas lantas menusup ke rimbun bonsai yang rumit lantas berembus merendah ke rumput basah lantas berputar lebih cepat sampai ke pagar batas kemengertianku lantas hujan mengguyur buas tak ada ciuman putaranku makin cepat membuncah gairah kupeluk hujan aku dalam hujan di manamana tak mampu terjepit di selangkangku putar makin kencang makin buas oh suamiku bangunlah dan bunuhlah hujanku putaranku makin cepat ke pucukpucuk bunga kertas merendah ke rumput basah membentur pagar  bonsai yang rumit batas kemengertianku membentur bunga kertas merontok daun jatuh ke rumput basah oh suamiku bangunlah dan bunuh hujanku!

bangunlah, suamiku! bunuhlah hujan untukku! aku ingin berhenti dari percakapan ini karena tamanku telah porakporanda….

Padang 06 2011