MATAHARI mengelinding muram memanjat langit. Dari atas singasana siang, ia hendak menceritakan kiamat. Kiamat bagi binatang haram; takdir yang menyerak-lantakan nasib di tanah basah dengan tubuh yang diruyak-ruyak dan diseret sekehendak hati yang beringas. Dibakar, dihanguskan, dan abu tubuhnya akan dibawa angin ke sawang awang. Dan tanah, berebut ceceran darah dengan api. Dan—dan beginilah kisah rahasia langit itu diceritakannya:
Pagi telah membaca tanda saat kemunculanku di langit timur. Bukit-bukit memutih ditutupi arak lamban gemawan. Gerimis yang rapat berkabar kepada embun di daun- daun. Udara yang dingin menyebar pilu ke jantung lembah. Dan murai! murai pun tak melengkingkan lagu pagi. Hanya dendang ratok bersipongang panjang di awal kemasku. Kiranya semua telah membaca. Membaca tanda kiamat bagi binatang haram.
Di jalan setapak, di pematang-pematang sawah, di kaki-kaki bukit, salak anjing sudah berhimpit saling bersambung. Dari corong toa, suara Kepala Desa tak mau kalah. Agitasi minggu paginya lebih nyaring dari talempong pengiring. Namun gendang telinga para pemburu tak begitu lagi menerimanya. Hanya 'yow' yang acuh yang diteriakkan mereka disetiap ujung kata kepala desa, karena pidato tinggal berbasa-basi saja—itu-itu saja yang dipidatokan setiap hari berburu. Tapi irama talempong yang singgah, telah melenggokan kepala mereka. Dan itu—setidaknya telah menyabarkan mereka dari hasrat yang menggebu untuk melihat anjing-anjing mereka merobek-robek tubuh binatang haram yang telah merusak sawah-sawah dan ladang-ladang.
Di sela yang cerah aku melihat beberapa pemburu mulai meninggalkan arena pidato dan segera bergabung dengan pemburu lain yang telah lebih dulu menempati posisi siap tempur di pesawahan dan di kaki-kaki bukit. Cerita buru kemarin pun diocehkah. Cerita kehebatan anjing-anjing mereka dari keturunan pemburu sejati yang telah merajah banyak rimba dan lubuk pun diruapkan. Walau kesedihan langit masih mengalir di pipi cakrawala, tapi semangat cerita lama, mengalahkah lagu kecengengan. Sebab inilah kesenangan dan dendam masyarakat yang harus polongkan!
Sayup sampai suara Kepala Desa menjadi tajam di daun-daun padi dan mengiris ke bukit-bukit belukar yang dilorongkan corong—menandakan perburuan telah dimulai. Teriak sorak pemburu dan gonggongan anjing menyentak ke udara bersama semangat tingkah tokok talempong. Kawasan perbukitan itu lebih gaduh-riuh. Rantai-rantai pun mulai meregang-tegang. Hawa sudah bencana! Dan gemawan, masih menggelapkan cekung-cekung lubuk.
Dan….! Binatang haram yang telah membaca pun sudah lari ciut. Alamat kiamat. Langit dijunjung telah runtuh, tanah dipijak menggetarkan seluruh sendi-sendi. Izrail mulai melayang bertebaran di rimba bukit dan di hamparan sawah tempat sehari-hari mereka mengantungkan hidup—walau disebut mencuri.
Dan! Ke belukar kelamlah mereka lari. Ke lubuk-lubuk terdalamlah mereka pergi sembunyi. Memanjati lereng-lereng yang belum dijamah, bersembunyi di rumah-rumah rang bunian, demi menyelamatkan diri dari kiamat laknat.
Tapi malang! Seekor terperangkap di tengah sawah. Kabar malam: Subuh tadi ia mencongkel ubi di ladang di atas bukit yang telah digundulkan ladang-ladang baru. Barangkali ia terlalu menikmati ubi sampai lupa akan aku yang telah menciumi bumi dari balik cakrawala gelap. Salak galaklah yang menyadarkannya akan bahaya yang mengancam. Terkejut! Takut yang amat sangat! Tanpa menunggu waktu! Ia pun lari dan melompat ke dalam sawah terdekat.
Sendiri. Hening-hening, babi bersembunyi di daun-daun padi. Keempat lututnya bergetar hebat dalam lumpur. Lumpur pun menjerat kakinya. Kaki yang telah mengarak diri ke tengah sawah untuk mengindar dari kematian.
Namun malang! Insting pemburu segera mencium keberadaan binatang haram itu. Dan insting-insting itu mulai berlompatan menerjang ke tengah sawah, berlomba mendahului untuk mencabik tubuh babi itu!
Menyadari keadaan itu, babi yang terperangkap di tengah sawah mulai sangat khawatir! Salak-salak semakin mendekat. Ketakutan penuh meliputi seluruh tubuh. Tetapi entah kekuatan apa! Entah insting yang mana! Keempat kaki yang terbenam terekat di lumpur! Tiba-tiba terangkat ke udara! Dalam hitungan detik babi itu melesat bagai Badai Puruih di antara dedaunan jarum dan mengantarkannya ke pinggiran sawah. Tanpa pikir panjang ia langsung mamanjat pematang dan meloncat ke sawah sebelah dan kembali menghilang di helai daun-daun padi.
Binatang pemburu tak ingin kehilangan buruannya. Sambil terus menyalak, anjing-anjing berlomba melompati pematang. Sementara para pemilik anjing tertawa puas penuh kebanggaan melihat anjing mereka yang terus mengejar pantang menyerah. “Tak sia-sia aku mengeluarkan biaya yang begitu banyak untuk ini semua.” ucap para penyandu.
Langit begitu gelap. Awan hitam berputar-putar membentuk lingkaran yang amat lebar. Gonggongan anjing makin menyentak memerintah kematian. Izrail melayang- layang ringan menungu detik qadar. Di bawah bayangan sayapnya, binatang laknat meringkut dalam takut. Babi malang..., betul-betul tak bisa berbuat apa-apa lagi. Di sela-sela padi muda yang mulai rusak, Ia hanya bisa menggertak dengan moncongnya kepada anjing yang mencoba mendekat di depannya.
Sedikit-sedikit ia terus meringsut waspada ke belakang. Sesekali mencoba lari dari kepungan. Tapi anjing-anjing itu terus mengepung sambil menyalak menang. Seakan-akan ingin mempermain-mainkan hidup yang tiada berguna itu. Sambil mendengus tajam! Diseruduknya anjing belang hitam putih yang coba menyerangnya. Tapi malang baginya. Anjing keturunan telah lebih dulu menghantam pantatnya. Babi itu menjerit keras. Melengking. Bergema di wajahku. Ia mencoba melepaskan diri. Tapi taring si Pilo melesat menancap di leher empuknya. Lagi, jerit kesakitannya melengking lagi di antara teriakan puas dan salak beringas. Oleh angin jeritan itu diantar ke lubuk-lubuk, semak-semak belukar, ke tebing-tebing bukit tempat persembunyian babi-babi lainnya.
Kali ini anjing berbulu putih bersilat taring menusuk perutnya. Dan lagi di bahagian paha kiri, pantat lagi, kepala, telinga, entah dari anjing jenis apa yang telah menancapkan taring di sekujur tubuh itu. Awan yang rendah dan lamban mengaburkan pandanganku. Tampaknya babi itu mulai pasrah, tak tahu lagi. Barangkali ia mulai nanar dengan tubuh penuh lumpur.
“Aku…siap….” Kudengar rintih pelan tertahan dalam tenggoronganya. Barangkali Izrail telah mengambil yang abadi dari dirinya.
Tubuh yang tiada berdaya itu mulai diseret ke tanah terbuka dekat tepi sawah. Dari sudut mata nanar ia masih sempat melihat tiga babi lainnya yang sudah tak bernyawa terkapar di bawah pohon asam. Anjing-anjing masih berebutan menancapkan taring-taringnya. Betul–betul jadi mainan. Para pemilik pun mendekat dan bersorak menghasut. “Ayo! Ayo! Hua...hua... ! Betul-betul hebat anjingku.” Kenapa harus terbuka gemawan pada drama ini.
Sambil menahan sakit di sekujur tubuh, babi itu mendongakkan kepalanya memandang hampa pada malaikat kematian dan berkata:
“Ya, Izrail! Ya, Sang Penjemput! Yang telah memisahkan anak dengan ibunya, kekasih dengan pujaan hatinya. Yang memisahkan kebahagiaan dan penderitaan. Aku mohon padamu, cepatlah ambil roh haramku! Dan biarlah jasad yang tiada guna sedikit pun bagi alam ini, dikunyah-kunyah oleh anjing-anjing yang hebat ini. Jika kami terlahir hanya sebagai perusak, tolong jemput juga seluruh kaumku.”
Malaikat kematian hanya tersenyum dalam keagungannya. Kemudian kedua sayapnya merentang. Jubahnya hitamnya menari-nari diterpa angin dingin. Awan gelap berputar-putar membentuk lingkaran yang amat lebar. Dan langit di mata babi menjadi legam. Dan jerit semakin tercekik di ujung detak.
Dua ekor babi yang bersembunyi di lubuk yang digelapkan awan, yang mendengar jerit pilu itu, semakin tak ingin bergerak. Takut kalau-kalau anjing-anjing mencium keberadaannya walau gerimis telah menolongnya. Tapi dalam keadaan itu, mereka membayangkan nasib temannya yang terperangkap di tengah sawah yang dikeroyak belasan anjing dan membayangkan apa yang akan terjadi dengan temannya itu. Muram. Tak ada harapan yang tersangkut di hayal mereka.
LANGIT tampaknya mulai kehabisan air kesedihan. Namun udara dingin masih menyebar. Meskipun demikian para pemburu masih terus bergerak mendaki ke arah bukit-bukit mencari pencuri untuk dibunuhi. Sebahagian mereka masih tinggal di pematang-pematang sawah untuk memusnahkan babi-babi yang tersesat di persawahan. Di bahagian selatan kaki bukit, terdengar sorakkan orang-orang beserta salak anjing. Barangkali di sana seekor lagi dapat diringkus.
Suara yang keluar dari corong toa terus mengomandoi para pemburu. Alunan talempong dayu-mendayu dalam kegembiraan. Beberapa rombongan pemburu dari desa sebelah mulai berdatangan. Jeritan-jeritan babi yang datang dari kaki bukit sana, seakan telah membangkitkan rasa kepuasan. Rasa kesenangan. Rasa ketidaksia-siaan, kerena telah datang ke kawasan ini.
Dalam masa itu, dua ekor babi yang bersembunyi di lubuk hitam, mulai menghitung-hitung sisa hidup dalam diam. Babi yang lebih gemuk dan lebih cerah kulitnya melihat hampa pada babi di sebelahnya. Semak belukar diam tak bergoyang sedikitpun. Tanah yang lembab. Daun-daun basah. Entah sampai kapan sunyi menyembunyikan mereka.
“Saudaraku,” kata babi yang lebih gemuk suatu saat dengan suara pelan, “mungkin sebentar lagi giliran kita yang akan berhadapan dengan malaikat kematian. Coba kau dengar, Saudaraku! Gonggongan anjing-anjing itu mulai mendekat ke lubuk ini. Mungkin di sini keharaman kita akan dikoyak-ruyak mereka. Dan kemudian bangkai kita akan dikumpulkan dan ditumpuk di tanah terbuka itu. Mereka-mereka itu akan menghitung-hitung kemenangan. Selajutnya... tinggallah abu kita yang akan diterbangkan angin. Hilang tanpa bekas.”
Babi yang satunya pun berujar, “Aku tidak mengerti, Saudaraku. alam telah menyambut kita dengan tubuh-tubuh hangatnya, dan mengajak kita untuk menikmati keindahan dan kemurahannya. Alam telah menghadiahi kita hutan sebagai rumah. Ini adalah rumah kita! Lantas orang-orang itu seenaknya mengambil alih rumah kita. Mereka tebangi pohon-pohon. Mereka jadikan ladang-ladang bagi mereka, tanpa menyisakan sedikitpun untuk kita. Dan lihat di bukit sana, Saudaraku! Rumah-rumah berdiri megah menjajah rumah-rumah kita. Tersusun rapi, mengusir orang-orang bunian. Apakah qada kita selamanya harus menyingkir dan rela demi kebutuhan orang-orang itu, Saudaraku?”
“Aku tidak tahu, Saudaraku. Mungkin inilah takdir kita di bumi: terlahir sebagai label saja. Boleh dihina, dipojokan, dan dimusnahkan. Kita adalah pencuri yang jorok, tapi itu patut kita syukuri. Karena dalam lembaran sejarah kehidupan ber-Tuhan, nama kita ditulis tebal dengan tinta hitam, abadi dengan gelar ‘haram’,” ucap babi gemuk tersenyum sinis.
“Haram! Haram! Buat apa kita ke bumi ini kalau tiada manfaat sedikit pun! Dan kau dengar... dengar itu! Satu lagi tubuh haram yang akan segera menjadi bangkai. Kurasa jeritan kita adalah semangat hidup bagi pemburu-pemburu itu. Melenyapkan kita adalah sebentuk iman yang harus dijaga. Sebentuk kepatuhan pada Tuhan Sekalian Alam.”
Babi gemuk hanya diam. Temannya mulai mengendus tak menentu. Dan aku telah sampai di atas kepala. Langit selesai bertangis-tangis. Gemawan dan dingin mulai menepi. Aku duduk di puncak singgasanaku. Dan aku betul-betul berkuasa di tengah hari membakari batok-batok kepala. Mengeringkan sisa-sisa minuman pagi di tenggorokan. Tapi bagi babi-babi itu, langit semakin bertambah gelap. Awan hitam semakin berputar-putar membentuk lingkaran yang amat lebar. Ruh kematian terus melayang-layang bertebaran di sawah-sawah, di lereng-lereng bukit, di lubuk-lubuk kelam untuk segera menutup kisah kiamat binatang haram.
Dendang ratok: lagu sedih
Telempong: alat musik tradisional Minang yang terbuat dari logam.
Tokok : pukul
Rang Bunian: maklup halus.
Ombak Puruih: istilah badai dasyat dari Samudra Hindia yang menerjang pantai Padang .
Padang, Desember 2004
* Judul Asli: Cerpen Kisah Kiamat Binatang Haram diapresiasikan sebagai cerpen terbaik pada Sayembara Menulis Cerpen UKJ Yasin Akbar, Fakultas Sastra Indonesia Universitas Andalas Padang Tahun 2005, Se-Sumatera Barat.
* Dalam arsip lama, ada tiga file untuk naskah cerpen ini. Penulis tidak tahu pasti file yang mana diantara ketiga file itu yang dilombakan. Setiap file ada perbedaan dari susunan kalimat di beberapa paragraf.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar