Ya, begitulah mereka menamaiku. Keseluruhan tubuhku memang dibalut hijab yang akan meredam syahwat dari mata syaitan. Aku tunduk pada syariat, menghamba pada Allah. Ku buhul mati aturan-aturan Rosul biar bisa bercinta dengan Allah. Bila puncak rindu-rindu sampai juga pada Zat Yang Maha Agung itu, sungguh tiada sanggup kalbu menampung aliran kasih Kekasih. Luluh segala air yang membentuk zahir dan batin. Sungguh candu dari segala candu gejolak asmara ini. Tapi malang… sebahagian dari saudara-saudariku menganggap aku seorang exskusif. Sesuatu yang berlain. Se-suatu sikap dan tampilan yang menjarakkan sosial kita. Duh…! Allah tidak melihat bentuk dan tubuh kalian, tetapi senantiasa melihat apa yang ada di dalam dada kalian*. Sekalipun adab dibalut patut, namun ada juga wajah hati berubah bentuk. Duh….
Sungguh bukan hendak berceramah atau menggurui saudara-saudariku tentang akidah. Tapi, hanya berbagi pengalaman akan ‘Titipan’ yang oleh saudaraku V (maaf sebesar-besarnya aku hanya sanggup menyebut inisial saja. Bukan takut, hanya segan saja.) sungguh pengalaman yang mengharukan bagiku. Mengapa ia yang terang mengaku Islam tak terselamatkan zakat. Atau mata zakatis tak mampu mendefinisi sehingga hak-hak saudara se-Islam dibawa masuk perut. Dan para keluarga yang dititipkan makhluk fitri itu musti diperjual-belikan. Saudaraku V menenggelamkan dirinya pada nama yang fulgar dan purba; sebuah pintu yang mengantarkan kita pada udara dan tanah asal. Dan Allah-ku, juga menamai dirinya seperti nama yang disandang V. Al Rahim. Nama itulah yang membuka pintu kenangan silamku; rahim yang melahir duka menuba keiklasanku. Aku yang mengaku hamba, alfa exsistensi diri. Lupa Qudrat, lupa Iradat. Duh….
Panggil saja aku Akhwat. Telah menikah, dikarunian seorang putra, tinggal di Amerika; melanjutkan study S2-ku bersama suamiku di salah satu universitas di sana. Hanya itu yang bisa aku jelaskan. Aku tidak mampu membedah diriku seterang saudaruku V. dan maafkan atas itu. Bukan itu yang hendak kuceritakan. Tapi, putraku. Ya, putraku….
Ada kilat di gelap cakrawala. Gerak samar mengungkap tanda sejenak. Tiba-tiba gemuruh meluruh keteguhanku. Gelegarnya menyerbu daun telinga yang ditembakan dokter spesialis padaku. Hujan jatuh di ladang matang. Di tanah yang telah lembab. Diguyur derasnya bencana kecewa, membanjiri batin yang selalu dijaga.
“Putra anda… autis.”
“Putraku autis, Dokter?!”
Ku serbu salatku. Kuseru-seru Ia di ujung sujud. Kuhantarkan kecewa dalam dialog-dialog yang panjang di setiap akhir salat. Dosa apa yang telah aku kerjakan? Laku apa kuperbuat yang tidak diridhoi? Semua yang kutahu dan aku pahami telah kulaksanakan atas nama-Nya. Tapi apa yang dititipkan padaku? Seorang bocah cacat! Anda tahu apa artinya cacat? Bagaimana ia akan menjalankan amalan-amalan yang diyakini orang tuannya; yang dibuhul mati dalam sadar. Tak ada jawaban. Tuhan diam. Diam serupa lengang doa. Memperbesar banjir kekecewaanku pada-Nya.
Kubesarkan putraku. Kupelihara dalam embun yang acap singgah di pelupuk. Kudidik dengan doa-doa luka. Setiap jadwal-jadwal rutin, aku berharap ada perkembangan pada putraku. Seperti biasa, siang itu aku duduk di ruang tunggu konsultasi. Menunggui pemeriksaan atas putraku . Sejarak tiga bangku dariku, sepasang Negro bercanda dengan tiga bocah. Tawanya menggelitik simpati, sampai ke batinku yang melulu berdoa pada Al- Muĵîb. Si Perempuan menyapaku dengan anggukan yang ramah. Aku membalasnya. Pikiranku beralih pada kebahagian yang mereka tenggak. Keluarga yang ramai dengan anak-anak yang… Masyaallah! Allahuakbar!.... Keraguanku menghampiri mereka. Sesopan mungkin aku bertanya pada Si Perempuan:
“Maaf Nyonya. Apakah mereka anak-anak anda, Nyonya?”
“Betul. “
“Saya perhatikan anak, Nyonya….”
“Idiot.”
“Tiga-tiganya?” tanyaku pelan tanpa intonasi menyinggung.
“Betul.”
“Maafkan saya, Nyonya.”
Perempuan Negro itu malah tersenyum seolah-olah tiada terjadi apa-apa atas keluarganya. Lantas kuceritakan keadaan putraku padanya. Ia mendengarkan tuturku dengan senyum ringan. Kemudian menepuk pundakku dengan lembut setelah aku berhenti bercerita, dan ia berkata:
“Kita: ibu-ibu yang istimewa di mata Tuhan, Nyonya. Kita: ibu-ibu pilihan. Tuhan percaya bahwa kita mampu untuk memelihara dan membesarkan kehidupan yang dititipkan-Nya pada kita. Ia tidak menitipkan pada kita hal yang biasa-biasa saja. Apapun itu. Dan…Kenapa kita musti kecewa atau terluka terhadap kepercayaan yang diberikan Tuhan pada kita, Nyonya? Seharusnya Nyonya berbahagia atas anugerah ini, bukan? Tuhan itu sangat tahu siapa Nyonya. Dan Nyonya pun tahu siapa diri Nyonya. Apakah itu hal terberat buat, Nyonya? Saya rasa, tidak! Pujalah Tuhan. Pujilah dengan pujian-pujian terbaik atas anugerah dan kepercayaan yang diberikan-Nya pada Nyonya.” Ia tersenyum manis sambil mengangguk padaku.
Dan kendali atas diriku tersungkur. Dadaku sesak. Sangat berat! Ya Rabb! Zat Yang Maha Agung! Ya Ghaffâr! Aku mohon ampuanan-Mu. Ampuni kebodohanku. Ya Rahmân! Kepentingan-kepentingan atas diriku telah melupakan kepentingan-kepentingan atas-Mu. Kau berkuasa atas semua urusan, tetapi kebanyakan kami tidak mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang terbaik buat kami. Tapi kami ingkar atas hal itu. Akan aku besarkan putraku dalam ridho-Mu, maka besarkanlah kebaikan atas putraku. Akan kudidik putraku dalam nama-Mu, maka jagalah putraku dalam pengetahuan Engkau.di bayang-bayang Ar-Rahman aku kan serupa induk ayam. Di bayang-bayang Ilmu-Mu aku mewujud hujan. Aku mohon pertolongan-Mu. Engkaulah sebaik-baik pemberi pertolongan.
“Bangunlah. Itu putra Nyonya menunggu Nyonya” Perempuan Negro itu memapahku dari sujud. Aku memandanginya. Air mata masih terjun di tebing pipi. Matanya menuntun mataku pada putraku yang berdiri di samping konsultor. Setenang mungkin aku menghampiri putraku. Namun bendungan dan kubu lumpuh. Tak berdaya pada haru dan kasih sayang yang tiba-tiba meruap. Putraku dalam peluk. Disirami kesadaran ibunya yang sekian lama alfa.
Padang Mai 2011
*Sahih Muslim
Tidak ada komentar :
Posting Komentar