Jumat, 11 Juli 2014

Suara Tengah Malam

—Maka si gadis berkata:
Apa yang harus aku timba dari foto masalalu; Ayah tenang
memandang, berpeci hitam, berkoko melayu. Ibu bermata
remaja, cerlang dalam bayang telekung, duduk di samping
memangkuku.

Ayah,
Malam merentang memanjang makam. Aku menggantang
keluhkesah. Di pembaringan, usia sebatas hirupan azan dan
hembusan ikomah, di pangkal tenggorok, ayah bersibak ke
lain tuju.

Ibu,
Suaramu pelita mata, punggungku bernisan bayang. Aku tak
mempan dipujuk nostalgia atau kidung hiburan; bahwa aku
adalah berkah ketiga ayah, setelah ibunya dan engkau.

O, segala yang mendengar, celalah, lidahku libak dari manisan.
Jiwaku memburu sendagurau para ayah ke setiap rumahrumah,
tamantaman, ke landai pantai, ke dekap hujan. Biarkan saja aku
menggelanggang angan dari nasehat yang teramat sempit buat rusuh.

Kemana harus kutipu pandangan? O, mereka... mereka.... O,
betapa senak pecah empedu di sudu bayangbayang para ayah
yang menggendong putraputrinya yang tidur di pangkuan ibu.
Lihatlah mata yang pahit, ia menciumi kening putraputrinya
setelah merapikan selimut di tubuhnya.

—Maka malam berkata:
O, putriku yang lipu. Igaumu menyendam pendengaran.
Kesedihan melimbur penglihatan. Aku menahannahan badai hati.

Dengarlah segala mendengar. aku tak hendak menggelanggang
sabung, atau membuatmu lebih sakit. Tapi ketahuilah: siapakah
bocah yang melembah ratap, yang memanggil manggil ayah di
pandam malam kala airmata dan hujan menulikan pendengaran?
Mata siapa yang menjenguknya kala Rosul berkata, bersihkan
tubuh anakku ini, Fatimah. Ia adalah adikmu. pakaiankan ia dari
kasihsayang dan perhatianmu. Sebentar lagi aku akan bermain
dengannya?

Rusuhlah putri kegelapan. Rusuhlah. Akupun rusuh dari kaum
yang bersembahyang belaka. Berzikir belaka. Rusuhlah. Kita
hidup di zaman bersembahyang belaka.





Payakumbuh—2013

Tidak ada komentar :

Posting Komentar